rekamanjejakhijau.com

Anak Kucing yang Gigih

Hai, Aku Miyong

Aku anak kucing berusia 3 bulan,corak rambut kepalaku belah tengah. Jenis kucing tabby dengan dominan putih, sedikit totol hitam keabuan berbentuk angka 0 di sisi tubuh kanan dan 0 8 di tubuh kiri. Di antara dua saudaraku, aku adalah  anak yang beruntung, pejuang tangguh dan punya  kisah heroik yang menjadikan aku dipanggil dengan nama Miyong, sesuai teriakanku saat itu.

anak kucing
Aku (Miyong) diapit kedua saudaraku

Hari Pertama

Mamaku bernama Mau yang juga punya corak 0 0 8 di tubuhnya, kami bertiga dilahirkan di plafon dengan  ketinggian kurang lebih 10 m dari permukaan tanah. Selama 30 hari, aku dan kedua saudaraku menghabiskan waktu dengan tidur dan menyusu di tempat gelap ini. Di suatu malam, saat kami mulai membuka mata untuk pertama kalinya, Mama menggendong saudara pertama ke tempat yang lebih rendah, aku takut sendirian dan mencoba menyusul Mama yang sedang menggendong saudara kedua.

Mama berjalan dan melompat dengan lincah, hingga aku tidak bisa melihatnya lagi. Tanpa ada penerangan, aku terus merayap sambil mencari jejak Mama hingga akhirnya hanya kegelapan yang ku dapatkan. Aku memutuskan sabar menunggu Mama hingga terlelap berteman sarang laba-laba dan tumpukan debu yang sangat tebal.

Hari Kedua

"Miyong....miyong...miyong....,"teriakku sekuat tenaga memanggil Mama yang tak kunjung menjemputku. Di dunia bawah sana, sayup terdengar ada dua manusia yang membicarakanku. "Tapi suaranya tidak berasal dari rumah kita dan Mau sudah membawa kedua bayinya di teras ", kata suami. "Jangan - jangan, ada yang ketinggalan. Kan tidak ada kucing betina lain yang keliatan sedang hamil selain Mau", jawabku sambil mencoba menganalisa.

"Tek...tek...tek...", suara tuas tangga lipat portable ditegakkan yang siap bertugas mengantar suami dengan berbekal headlamp ke bilik toren yang ada di atas dak. "Suaranya berasal dari atas rumah Ibu Salon (tetangga pemilik usaha salon wanita). "Bawa Mau ke sini ! ", instruksi suami yang sebenarnya masih lelah sepulang dari kantor.

Dengan cekatan, suami menggendong Mau di tangan kiri dan tangan kanan berpegangan anak tangga. Alih-alih berlari menuju sumber suara, Mau melompat dan berlari melewati atap tetangga dan mencari jalan turun. "Mau turun, bawa ke sini lagi ya", perintah suami ke aku yang sedari tadi duduk di teras belakang berharap Mau mengenali suara itu. Usaha malam ini, nihil dengan terpaksa kita tidur dengan backsound rintihan kesedihan dan kesepian serta teriakan minta tolong si kucing malang itu.

Hari Ketiga

Saat pagi hari aku bisa merasakan kehangatan menyapa        rambut-rambut halusku, tapi lambat laun rasa panas yang ku rasakan. Aku haus dan sangat lapar sekali,     "Miyong....miyong...miyong...miyong", teriakku lebih keras agar Mama bisa mendengar dan segera menjemputku. Tubuhku lemas, energiku mulai habis dan berat sekali mata ini untuk terus berjaga. "Lebih baik aku tidur saja untuk menghemat tenagaku dan kembali memanggil mama nanti malam", pikirku. 

"Kita coba lagi, bawa Mau ke sini", ajak suami. "Mau, anakmu berapa? ada yang ketinggalan sepertinya. Ayo ambil !", bujukku ke kucing bermoncong hitam ini. Di saat yang bersamaan, suami mengarahkan sorot cahaya senter ke celah sempit yang diduga menjadi tempat persembunyian anak kucing malang ini. "Alhamdulillah, cara ini berhasil. terlihat bayangan dia mengikuti cahaya, Mau jemput anakmu ya", perintah suami sambil melempar Mau ke celah sempit itu. 

Usaha kita menyelamatkannya masih juga tiada hasil. Memang Mau berlari ke arah cahaya, namun berhenti dan kembali berlari turun dari atap. "Ya Allah, besok adalah hari keempat usaha penyelamatan ini, kuatkanlah dia dan beri kemudahan membawanya turun ke bawah.  Besok aku harus ngobrol dengan Ibu Salon tentang keberadaan anak kucing yang terjebak di plafon lantai dua rumahnya", batinku. 

Hari Keempat

"Saya, terlebih anak saya juga terganggu dan kasihan juga mendengarnya, khawatir dia mati di atas", curhat Ibu Salon saat aku memberitahunya. Tak lupa minta izin nanti malam suami akan naik ke atap rumahnya yang berdekatan dengan plafon untuk mengambil anak kucing. Sempat menjadi perbincangan antara aku dan suami, kenapa Ibu salon tidak berusaha mengambilnya jika memang terganggu.

"Miyong...miyong...miyong", suaraku makin berat dan serak. "Kemarin, aku sempat mencium aroma Mama mendekatiku, mungkin kali ini Mama berhasil menemukanku. Aku menyesal Mama, kenapa aku tidak sabar menunggu giliran digendong", teriakku sambil terus mengeong, miyong...miyong..miyong. Trik sorot lampu senter kembali dilakukan, namun nihil. "Kita perlu minta bantuan tetangga, coba ajak Bapak salon saja, kan TKP ada di rumahnya", saranku ke suami antara berharap dan putus asa.

Bergegas suami ke rumah Bapak Salon yang ternyata beliau takut akan ketinggian. Kerjasama pun dimulai di antara mereka yang berakhir happy ending, Miyong yang menggigil kedinginan dan kurus, berhasil landing dengan selamat. "Alhamdulillah, aku berjumpa dengan Mama dan kedua saudaraku. terimakasih manusia baik", ucap Miyong.

"Aahh lega, bisa tidur nyenyak malam ini. You are the real hero my husband 😙💖", pujiku. Baru saja mata terpejam, kita dikejutkan suara parau Miyong. Bergegas kita mengintip dari balik jendela, Miyong mengeong dan merayap ke sana kemari. Dia masih jetlag dan kembali lapar sepertinya. Bagaimana tidak selama 4 hari tanpa menyusu dan terus menerus merayap sambil mengeong kencang, akhirnya kita begadang mengawasi dan menunggu Miyong hingga merasa kenyang menyusu dan tidak lagi merayap. 

Satu Bulan Kemudian, 3 Juli 2022

Aku bahagia sekali bisa berkumpul dalam pelukan hangat Mama dan dua saudara laki-lakiku, serta kakak perempuanku yang sangat baik hati membantu Mama merawat kami bertiga. Badanku tidak lagi kurus dan pita suaraku semakin membaik. Dua manusia ini juga sangat baik padaku, maaf kalau pernah merepotkan kalian.

Sekarang aku sudah bisa berlari, mengejar, melompat, memanjat, lulus  makan minum sendiri  dan toilet training, tapi aku masih belum lepas menyusu. Aktivitas lain yang ku sukai, saat Mama mulai mengajak kami bertiga orientasi perumahan manusia, menyenangkan sekali bisa berlarian ke sana kemari dan berkumpul bersama untuk makan. Yang menggembirakan lagi, berat badanku sudah hampir menyamai kedua saudaraku, pita suaraku sudah kembali normal jadi suaraku sudah tidak seseram dulu.


Namun, malam ini Minggu 3 Juli adalah malam yang cukup berat bagi 2 manusia kesayanganku. Mereka baru saja berkendara roda dua sambil membawa keranjang biru berisi Tante Miu dari klinik, ku lihat ada cahaya terang di roda depan sepeda motor ungu yang seringkali tempat duduknya menjadi tempat ternyamanku tertidur pulas. Ada sosok bersayap dengan cahaya terang tidak menyilaukan memanggilku, berlari ku menghampiri dan menggosokan badanku kepadanya. Tapi kenapa dadaku terasa sesak seolah terhimpit, ku mencoba berlari sekencang-kencangnya dan tersungkur di aspal hitam.

Aku tak ingat dengan apa yang barusan terjadi, nafasku tersengal sengal dan ku dengar ucapan,"Maaf Miyong sayang". Tangan manusia kesayanganku, meraih tubuhku yang remuk redam ini. Sambil merapal getir berulang kalimat La ilaha illalah, jari- jari manusia kesayangan mengelusku dengan sangat hati-hati. Berkali kali pula dia mengucap istighfar dengan suara bergetar, "Ya Allah, astaghfirullah...Ya Allah". 

Pandanganku semakin kabur, cahaya itu kembali menghampiriku dan mendekapku dalam sayapnya hingga nafas ini terasa lebih ringan dan sepertinya sudah tidak perlu lagi berusaha memompa oksigen ke dalam paru-paru. Rasa dingin sejuk menjalar di keempat tapak kakiku dan dibawanya aku terbang oleh makhluk suci bersayap ke tempat berpetualang yang baru hingga tidak lagi kurasakan sakit pada tubuh mungilku ini.

"Qodarullah, Innalillahi wa inna ilaihi rajiun", ucap kita sambil terus membelainya dengan perlahan, meraba bagian tubuhnya berharap masih ada tanda-tanda kehidupan walau sudah terlihat jelas warna kuping dan mulut yang mulai pucat membiru. Segera ku persiapkan pemakamannya, alas berupa daun pisang dari kulkas dan daun pandan di pot yang kupotong tipis. Suami membawa head lamp, cangkul dan ember kecil sambil bilang, "Kamu di rumah aja, biar satpam komplek yang menemaniku".

Ku rapal doa dan menemui Mama Mau sambil mengelus kepala hitamnya, "Maafkan kita ya Mau, kurang waspada dengan kehadiran Miyong yang tepat di roda depan motor. Kejadiannya begitu cepat, di saat aku mencoba menghalau laju motor bersamaan pula suami ngegas motornya". Tak luput juga belai kedua saudaranya dan Wecil, si kakak terlihat celangak celinguk seolah mencari 1 adiknya. 

Pillow talk malam ini sungguh berbeda, kami saling mengguatkan. Aku : "Disuruh Allah belajar ikhlas. Kalau Pak RK kehilangan anaknya (manusia) kita kehilangan anak kucing ". Suami : "Ya Allah, anak kucing yang dieman-eman. Jadi ingat bagaimana dulu memperjuangkan nyawanya". Kita pun tergiang pesan mendalam Pak RK yang kehilangan sang putera sulung kesayangannya, "Anak itu hanya titipan Tuhan dan saat diusianya nanti dia menjemput takdirnya". 

Selamat jalan Miyong, Sang pejuang tangguh. Maafkan kita ya kurang berhati-hati, terimakasih telah memberikan hikmah tentang arti ikhlas, kegigihan dan ajal menjemput tak pandang usia serta semua makhlukNya pasti akan berpulang. Semoga kamu bahagia bermain-main bersama kucing kucing lainnya di taman surga.


Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak di kolom komentar. Semoga artikel ini bermanfaat.